Mengelola DAS Lintas Negara: Siapkah Kita?

Ketika sungai melintasi batas negara, yang dibawa bukan hanya air, melainkan juga harapan komunitas yang bergantung padanya. Bagi Indonesia, mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) lintas negara berarti menyeimbangkan kebutuhan lokal, kebijakan nasional, dan kerja sama internasional. Dalam kerangka regulasi yang ada, sebenarnya sudah terdapat landasan yang kuat, termasuk kewenangan pengelolaan DAS yang berada di tingkat pusat. Namun, masih diperlukan penajaman mengenai bagaimana peran pemerintah daerah dapat mendukung kewenangan tersebut secara lebih efektif, sehingga perencanaan dan koordinasi lintas sektor dapat berjalan lebih terpadu.

Di sisi lain, Indonesia dan Timor-Leste juga telah memiliki Memorandum Saling Pengertian (MSP) serta Implementation Arrangement (IA) di sektor kehutanan, yang menjadi dasar kerja sama dalam pengelolaan DAS lintas negara. Tantangan yang masih dihadapi adalah belum tersedianya kerangka teknis-operasional yang lebih detail untuk memastikan pelaksanaan MSP dan IA tersebut secara konsisten di daerah lintas batas. Selain itu, meskipun sejumlah regulasi telah memberi ruang bagi aktor non-pemerintah seperti komunitas lokal, petani perempuan, dan masyarakat adat, peran dan partisipasi bermakna mereka dalam pengelolaan DAS lintas batas negara masih dapat dioptimalkan. Memperkuat sinergi lintas tingkat pemerintahan, memperjelas operasionalisasi kerja sama bilateral, dan memperluas ruang partisipasi bermakna banyak pihak terutama masyarakat lokal akan menjadi kunci dalam membangun tata kelola DAS lintas negara yang inklusif dan berkelanjutan.

Dalam konteks inilah, upaya pemetaan pemangku kepentingan terkait tata Kelola DAS lintas negara yang sedang dijalankan oleh Inovasi Tangguh Indonesia (InTI) menjadi penting. Dengan memetakan aktor kunci mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, lembaga akademik, CSO, masyarakat lokal, hingga masyarakat adat, Proyek Management of Indonesian and Timor-Leste Transboundary Watersheds (MITLTW)/TIWA berusaha memastikan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat terlibat aktif. Masyarakat adat, misalnya, bukan hanya penjaga alam, tetapi juga pemegang peran penting dalam tata kelola berkelanjutan sumber daya alam salah satunya dengan menjaga kearifan lokal.

Selain itu, kerangka hukum di tingkat nasional dan daerah dapat menjadi payung regulasi untuk tata Kelola DAS lintas negara. Selain itu, bisa menjadi acuan terkait pembangunan daerah dimana Rencana Aksi Strategis yang disusun dari Transboundary Diagnostic Analysis dalam program MITLTW/TIWA bisa dimasukkan menjadi bagian dari arah rencana pembangunan NTT hingga 2045. Dengan harmonisasi kebijakan ini, pengelolaan DAS lintas batas dapat bergerak lebih solid, jelas, dan inklusif.

Namun, pertanyaan tetap muncul: apakah kita siap untuk melangkah lebih jauh? Tidak hanya mengharmonisasikan kebijakan, menyusun kebijakan, dan mengorkestrasi pelaksanaan kebijakan tersebut melampaui sekat-sekat kelembagaan dan administratif, tetapi juga benar-benar secara konkrit membangun kerja sama lintas negara, lintas pemangku kepentingan termasuk lintas komunitas, dengan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial? Bagaimana kita memastikan bahwa suara masyarakat lokal dan masyarakat adat benar-benar menjadi bagian paling penting dari proses pengambilan keputusan? (InTI)

Share