Menenun Kolaborasi dari Pusat hingga Tapal Batas
Pemetaan pemangku kepentingan dalam proyek Management of Indonesia–Timor-Leste Transboundary Watersheds (MITLTW) atau yang sekarang lebih sering disebut sebagai Timor Island Watersheds (TIWA) Project menggambarkan jalinan kolaborasi yang luas, mulai dari kementerian di tingkat nasional hingga masyarakat di desa-desa perbatasan. Dari proses pemetaan yang dilakukan oleh Inovasi Tangguh Indonesia (InTI), teridentifikasi berbagai aktor kunci yang berperan penting dalam memastikan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Talau–Loes dan Mota–Masin dapat berjalan berkelanjutan melalui kolaborasi dua negara.
Pemangku Kepentingan di Tingkat Nasional: Menentukan Arah dan Mandat
Di tingkat nasional, Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dari Direktorat Jendral Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia memegang peran sentral sebagai lembaga pelaksana utama proyek, dengan mandat kuat dalam pengelolaan hutan dan DAS lintas batas. Bersama Kementerian Pekerjaan Umum (PU) serta Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), ketiganya dikategorikan sebagai pemangku kepentingan dengan tingkat pengaruh dan kepentingan tinggi (high influence – high interest). Lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan dan sumber daya yang memungkinkan untuk menentukan arah kebijakan dan strategi implementasi proyek di tingkat nasional maupun bilateral.
BNPP berperan penting dalam memastikan kebijakan lintas sektor dan antarwilayah di kawasan perbatasan tetap terkoordinasi, sementara Kementerian PU, melalui unit vertikalnya Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Nusa Tenggara II, dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Kehutanan melalui unit vertikalnya, Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Benain–Noelmina, , bertanggung jawab dalam pelaksanaan teknis di lapangan. Ketiga lembaga ini juga diharapkan menjadi penggerak utama dalam pembentukan Kelompok Kerja Kehutanan Bersama atau Joint Forestry Working Group (JFWG), yang menjadi wadah koordinasi dua negara dalam pengelolaan DAS lintas batas negara. Istilah Joint Forestry Working Group seiring waktu diusulkan untuk diubah menjadi Joint Transboundary Working Group (JTWG) agar program kerjanya tidak terkesan seperti dibatasi pada “sektor kehutanan” saja.
Selain itu, lembaga lain seperti Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga diidentifikasi sebagai mitra strategis. Keberadaan mereka memperkuat sinkronisasi kebijakan lintas sektor, diplomasi, dan arah pembangunan nasional agar sejalan dengan kerangka kerja sama lingkungan lintas negara.
Pemangku Kepentingan di Tingkat Provinsi dan Kabupaten: Menjembatani Kebijakan dan Aksi
Di tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur dimana 2 DAS Lintas Batas Negara Talau Loes dan Mota Masin berada, lembaga seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida), serta Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Provinsi NTT berperan penting sebagai penghubung antara kebijakan pusat dan kebutuhan di tingkat masyarakat atau komunitas.
Sementara di tingkat kabupaten, Bapperida dan BPPD Kabupaten Malaka dan Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP4D) dan BPPD Kabupaten Belu diidentifikasi sebagai pemangku kepentingan utama yang memiliki legitimasi sosial dan administratif di wilayah perbatasan. Keduanya berpotensi besar untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan Rencana Aksi Strategis (SAP) melalui Perencanaan Program Pembangunan maupun Rencana Aksi Pembangunan Kawasan Perbatasan dan mendukung koordinasi kelembagaan antar OPD di daerah.
Keterlibatan mereka tidak hanya memastikan setiap kebijakan yang dihasilkan proyek sesuai dengan konteks lokal, tetapi juga mendorong agar hasil program dapat menjawab kebutuhan nyata masyarakat yang tinggal di kawasan DAS lintas batas negara Indonesia dan Timor-Leste.
Pemangku Kepentingan Perguruan Tinggi dan Organisasi Masyarakat Sipil: Penjaga Pengetahuan dan Inklusivitas
Pemetaan juga menyoroti peran Universitas Nusa Cendana (UNDANA) di Kupang dan Universitas Pertahanan (UNHAN) di Atambua sebagai mitra pengetahuan dan riset yang menyediakan dukungan ilmiah dan teknis dalam pelaksanaan proyek. Keduanya memiliki kapasitas dalam melakukan kajian ekosistem, sosial-ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat ataupun gugus tugas komunitas melalui program-program studinya yang terkait tata Kelola DAS.
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil seperti Forum Masyarakat Peduli Sungai (Formapes) Talau di Atambua dan LSM CIRMA NTT menjadi mitra strategis yang memperkuat prinsip inklusivitas dan keadilan sosial. Dengan pengalaman panjang mendampingi komunitas di bidang konservasi berbasis masyarakat dan pertanian berkelanjutan, mereka diharapkan berperan dalam proses advokasi, penguatan kapasitas, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS lintas batas negara.
Pemangku Kepentingan di Tingkat Desa: Komunitas Sebagai Penggerak Utama dan Penjaga Kearifan Lokal
Di tingkat tapak, pemangku kepentingan mencakup pemerintah desa, tokoh adat, tokoh agama, kelompok perempuan, pemuda, kelompok tani, penyuluh lapangan, dan tenaga kesehatan. Mereka adalah penjaga keseimbangan ekosistem sekaligus pemilik kearifan lokal yang menjadi modal utama pengelolaan DAS berkelanjutan.
Dalam struktur proyek TIWA, mereka akan menjadi bagian dari Gugus Tugas Komunitas (GTK), yang berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat dan Kelompok Kerja Bersama (JFWG/JTWG). Peran mereka sangat penting untuk memastikan setiap kebijakan proyek benar-benar berakar pada kebutuhan masyarakat dan selaras dengan kearifan lokal.
Menuju Tata Kelola DAS Lintas Batas yang Kolaboratif
Hasil analisis pemetaan pemangku kepentingan menunjukkan bahwa keberhasilan proyek MITLTW–TIWA sangat bergantung pada keterlibatan semua pihak, dari kementerian hingga komunitas desa, dalam satu kerangka kolaborasi yang solid.
Kolaborasi antar lembaga dan lintas negara ini diharapkan tidak hanya memperkuat tata kelola DAS lintas batas negara Talau–Loes dan Mota–Masin, tetapi juga membangun dasar kerja sama jangka panjang antara Indonesia dan Timor-Leste yang berbasis pada keberlanjutan, keadilan sosial, dan penghidupan masyarakat di wilayah perbatasan. (InTI)